Salju menyapu kota pada hari itu. Benar-benar dingin. Aku tak kuasa menahan hawa dingin yang terus menerpa wajahku.
Tokyo. Kota yang paling ingin kutinggali kini berubah menjadi kota putih dipenuhi tumpukan salju yang menggunung. Sudah lima tahun aku tinggal di sini. Jauh dari keluarga, jauh dari teman-teman, dan jauh dari seseorang yang memiliki senyuman hangat yang selalu kunantikan.
“Puup, kau sedang apa?” Tanya Akira.
“Oh, Akira. Aku sedang mengamati Tokyo,” kataku segera.
“Kukira kau sedang melamun,” tebak Akira, “Ini, Nami membelikan kita kopi panas.”
“Terimakasih,” kataku singkat kemudian melanjutkan pengamatanku.
Yeah, aku memang bukan orang Jepang. Aku pergi meninggalkan negaraku tercinta untuk menimba ilmu di sini. Tak terasa semua sudah berlangsung selama lima tahun lamanya.
“Bagaimana kabar Joe?” pertanyaan Akira tiba-tiba membuyarkan pikiranku.
“Eh? Joe?” aku terperangah, “Kurasa dia baik-baik saja.”
“Kau yakin? Sudah dua tahun kalian tidak berjumpa,” komentar Akira, “Dan sebentar lagi kau akan kembali ke negaramu.”
“Lalu??” ujarku singkat.
“Aduh! Kau ini benar-benar..,” kata Akira sedikit geram.
“Aku akan menghadiri pernikahan temanku, dan itu tidak ada hubungannya dengan Joe,” kataku lantang.
“Ah, sudahlah.. Aku hanya berharap hubunganmu baik-baik saja,” kata Akira yang menyerah pada akhirnya.
***
“Hati-hati di jalan!” seru Nami sambil mencoba menahan air matanya agar tidak mengalir.
“Jaga diri baik-baik!” tambah Akira yang terlihat cemas.
“Tenang saja! Aku akan baik-baik saja,” kataku dari kejauhan.
Hari itu akhirnya aku pulang ke negaraku. Di pesawat aku mencoba menunggu dengan sabar kapan waktunya sampai.
Setelah menunggu cukup lama, pesawat mendarat juga. Aku senang sekali bisa sampai dengan selamat. Kulihat keluargaku datang menjempuku. Ayah, Ibu, Adik, dan juga.. JOE!!! Tapi sejurus kemudian kulihat bayangan Joe menghilang. Aku hanya berhalusinasi.
“Hai, apa kabar!” seru Niss dari telepon keesokan harinya.
“Hai, kabarku baik,” kataku senang.
“Nanti kau bisa ikut, kan?” tanya Niss yang terlihat begitu bersemangat.
“Tentu! Aku ingin bertemu dengan kalian,” kataku ikut bersemangat, “Apalagi Kanua!”
“Hahahaaa.. Kau pasti terkejut saat mendengar berita bahwa dia akan menikah??” tanya Niss.
“Tentu saja!” ujarku.
Sore harinya aku pergi ke Saint Street, tempat kami berjanjian. Kulihat di sana sudah ramai. Yeah, dari dulu kami selalu saja ramai bila sudah berkumpul.
“Hei, lihat! Itu Puup!” seru salah seorang dari mereka.
Aku melambaikan tanganku sambil tersenyum gembira. Kemudian aku menghampiri mereka dan turut bergabung. Wajah-wajah lama yang sudah dua tahun tidak kutemui. Sungguh merindukan.
“Selamat, ya!” seruku.
“Terimakasih,” ujar Kanua dan George bersamaan.
“Aku benar-benar tidak menduga kalian benar-benar akan menikah,” kataku melontarkan pendapat yang berasal dari lubuk hati.
“Tentu saja bisa! Kan sudah ada contohnya,” tambah Rhan sambil menunjuk ke arah Nyolla dan Jay.
“Hahahaaa..,” kami tertawa bersama.
***
Sabtu malamnya, resepsi pernikahan Kanua dan George dilaksanakan. Orang-orang berdatangan silih berganti. Aku juga sempat bertemu dengan teman-temanku semasa SMA. Tapi tidak dengan Joe. Aku tidak menemukan sosoknya di antara tamu undangan.
“Mari kita dengar sepatah, dua patah kata dari pasangan di depan ini,” kata MC mempersilakan.
“Malam ini kami ingin mengucapkan terimakasih untuk semua yang telah hadir di sini,” kata George yang terlihat bijak, “Dari pihakku maupun pihak Kanua.”
“Kemudian, saya ingin mengucapkan terimakasih khusus untuk teman saya yang telah jauh-jauh datang dari Jepang,” kata Kanua menambahi, “Puup, kemarilah! Kami memiliki sesuatu untukmu.”
Aku yang kebingungan berjalan maju ke podium yang berada tepat di samping Kanua dan George berdiri. Hey, aku tidak tahu mereka merencanakan hal ini!
Ketika aku sudah sampai di podium, tiba-tiba lampu padam. Seluruh lampu di gedung itu padam, tanpa terkecuali. Semua orang tampak panik dan bingung. Sedetik setelahnya, sebuah lilin menyala terang dalam gelap. Seluruh perhatian terarah pada lilin yang kini berjalan ke arahku.
Setelah lilin itu sampai di depanku, lampu kembali menyala. Kutemukan Joe sedang memegangi lilin yang masih menyala itu.
“Maukah kau menikah denganku?” Tanya Joe tiba-tiba.
Aku tertegun beberapa saat sampai akhirnya terdengar tepuk tangan riuh dari para tamu undangan. Aku benar-benar terkejut. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa.
Kulirik sekelilingku. Kanua, George, Nyolla, Jay, Deet, Kahn, Niss, Rhan, Aka, dan yang lainnya mengangguk. Bahkan ayah dan ibuku, dan juga adikku turut mengangguk setuju.
Pandanganku kukembalikan tepat di hadapanku di mana Joe berdiri. Beberapa saat kemudian suasana menjadi tegang. Seluruh tamu undangan diam tanpa suara. Kemudian aku mengangguk, dan tepuk tangan membahana di gedung itu.
“Aishiteru,” kata Joe sambil memelukku erat.
***
0 comments:
Post a Comment